Tren Teknologi Database 2025: Menuju Era Data yang Lebih Cerdas dan Terdesentralisasi

Di tahun 2025, teknologi database telah berkembang jauh lebih cepat dari sekadar sistem manajemen data tradisional. Perusahaan kini tidak hanya mencari tempat menyimpan data, tapi juga cara bagaimana data itu bisa memberikan nilai secara instan dan efisien. Cloud-native, integrasi AI, hingga model database terdesentralisasi jadi kunci tren yang tak bisa diabaikan.
Salah satu perubahan besar datang dari pemanfaatan AI dan machine learning di dalam database. Banyak penyedia database seperti Oracle, Snowflake, dan Google BigQuery kini mengintegrasikan AI untuk melakukan prediksi query, deteksi anomali, hingga optimasi performa. Hal ini memungkinkan sistem bekerja lebih otomatis dan minim intervensi manual. Menurut Gartner (2024), pada 2025 lebih dari 50% query database di perusahaan besar akan dibantu oleh AI.
Selain itu, database time-series dan real-time analytics juga makin dibutuhkan, terutama di sektor IoT dan finansial. InfluxDB, TimescaleDB, hingga ClickHouse adalah contoh sistem yang populer karena kemampuannya dalam menangani data dalam volume besar dan dengan kecepatan tinggi. Real-time processing kini bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan, apalagi untuk bisnis yang butuh keputusan cepat berbasis data.
Di sisi lain, model database terdesentralisasi mulai menanjak, seiring dengan naiknya popularitas blockchain dan Web3. Solusi seperti BigchainDB dan IPFS mulai digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan keamanan tinggi dan audit trail yang transparan. Meskipun belum menggantikan sistem tradisional, tren ini menunjukkan arah masa depan di mana data tidak lagi tersentralisasi di satu entitas saja.
Tidak kalah penting, database multi-model juga semakin populer. Sistem ini memungkinkan pengembang untuk menyimpan berbagai jenis data (relasional, dokumen, graph, dan lain-lain) dalam satu engine. Contohnya seperti ArangoDB dan OrientDB. Fleksibilitas ini sangat penting di era aplikasi yang cepat berubah dan serba kompleks.
Edge computing juga membawa pengaruh besar pada desain database. Dengan semakin banyaknya perangkat IoT, kebutuhan akan sistem database yang bisa beroperasi di edge (dekat dengan sumber data) pun meningkat. Solusi seperti SQLite, RedisEdge, dan LiteDB banyak digunakan karena ringan dan cepat, serta bisa bekerja tanpa koneksi internet penuh.
Terakhir, aspek keamanan dan privasi data menjadi sorotan utama. Dengan meningkatnya regulasi seperti GDPR, HIPAA, dan UU PDP di Indonesia, penyedia database kini berlomba menyediakan fitur seperti enkripsi default, masking data, dan kontrol akses berbasis peran. Menurut laporan dari Cybersecurity Ventures (2024), kerugian akibat kebocoran data akan mencapai $10 triliun per tahun di 2025, mendorong organisasi untuk semakin serius memperkuat infrastruktur data mereka.